AL-HIKAM I
ِبسْمِ اللهِ
الرَّحمْنَ ِالرَّحِيْمِ
{اِحَالَتُكَ اْلاَعْمَالُ
عَلَى وُجُوْدِ الفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النَّفْسِ }
(menangguhkan amal-amal
ibadah, menangguhkan berbuat kebaikan, ditangguhkan, ditunda-tunda kalau sudah
menganggur, kalau sudah longgar sekarang masih repot ini itu, ini adalah
sifat-sifat nafsu yang kumprung, yang bodoh, yang blo'on).
Nafsu
yang kumprung, yang bodoh. Atau semua nafsu itu kumprung, dungu. Saya akan
beribadah besok-besok saja kalau sudah, sudah selesai pekerjaanku ini, kalau
sudah... selesai garapan sawah, kalau sudah... tidak menyusui anak, kalau
sudah... tentram rumah tangga saya, kalau sudah... sehat kembali, kalau sudah
pensiun... dan sebagainya dan sebagainya. Ini semua ajakan nafsu. jangan
diperturutkan!. Jangan dilayani!. Ajakan nafsu pasti menyeret kepada kebinasaan
dan kehancuran!. Menunda-nunda pekerjaan adalah bujukan nafsu!. Alloh SWT telah
memberi peringatan dalam firman-Nya yang bernada bertanya dalam surat AL-Hadid
ayat 16:
اَلَمْ يَأْنِ
لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْ بُهُمْ لِذِكْرِ الله ِوَمَا نَزَلَ
مِنَ اْلحَقِّ .....الحديد
(Belum datang waktunya bagi mereka orang-orang yang
beriman untuk menundukkan hati mereka khusyu mengingat kepada Alloh SWT dan
kepada kebenaran-kebenaran yang telah turun kepada mereka ? ... ).
Sesungguhnya
malah sudah jauh terlambat!. Ada
lagi, itu dawuh hadist Rosululloh SAW :
اِغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابِكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ
وَفِرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَغَنَّاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ
مَوْتِكَ. الحديث
(Peliharalah lima macam keadaan sebelum datangnya lima macam
keadaan yang lain, yaitu masa muda, sebelum datangnya masa tua, dan selagi
sehat sebelum atau mumpung tidak sakit, selagi waktu longgar mumpung belum
repot, dan selagi kaya mumpung belum fakir, dan selagi masih hidup mumpung
belum mati).
Jadi
dalam keadaan bagaimanapun juga kita harus terus, terus memanfaatkan segala
keadaan untuk ingat kepada Alloh, untuk mengabdikan diri kepada Alloh,
untuk.... untuk Fafirruu Ilallohi wa Rosuulihi SAW :
فَاذْكُرُوْا الله
َقِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ . النسآء:٥٣
(... ingatlah kepada Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring).
Jadi pokoknya dimana kita. berada dan apapun yang kita
lakukan, harus senantiasa dzikir atau ingat kepada Alloh!. “udzurullooha” =
dzikirlah kepada Tuhan!.
Dzikir
itu macam-macam pendapat. Imam Nawawi, semua, semua ibadah itu dzikir. Ubudiyah
itu dzikir. LILLAH, semua apa saja yang didasari LILLAH, itu dzikir. Semua
dzikir atau ibadah, “muqooribatun ilalloh” . Mendekatkan kepada Alloh! makin
banyak ibadahnya, disamping BILLAH otomatis, makin dekat kepada Alloh SWT.
Makin diridloi Alloh SWT Makin diridloi Alloh SWT Makin sempurna indallohi ta'ala.
فَاِذَا كَانَ
المرُِيْدُ مُشْتَغِلًا بِحَالٍ مِنْ اَحْوَالِ دُنْيَاهُ وَكَانَ ذَلِكَ
يَمْنَعُهُ مِنَ اْلاعْمَالِ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى حَضْرَةِ َمْولَاهُ
....كَانَ ذَلِكَ دَلِيْلٌ عَلَى رُعُوْنَةِ نَفْسِهِ
Seorang murid menghendaki wusul kepada Alloh SWT. Atau
“Saalik” Istilah “Saalik” dan “murid” sama maksudnya. Tapi ada sedikit perbedaan.
“murid”, masih berkehendak, dan “saalik” sudah
berjalan. Sudah berada ditengan jalan. Kedua-duanya itu belum bebas dari nafsu
secara keseluruhannya. Tapi sesungguhnya “murid”, karena dia sudah berkehendak,
berarti sudah dapat mengalahkan nafsunya. Sekali pun baru sekian prosennya.
Lebih-lebih “saalik”. sudah berjalan, sedikit atau banyak sudah dapat menguasai
nafsu. Sekalipun belum seratus persen. Tapi soal BILLAH dengan sendirinya belum
menguasai. Selanjutnya Syekh Pensyarakh Al-Hikam yaitu Syekh Ibnu ‘Ibad
mengulas dengan kata selanjutnya :
وَقَدْلاَ يَجِدُ
مُهْلَةٌ بَلْ يَحْتَطِفُهُ المَوْتُ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْيَزْدَادُ شُغْلُهُ لأَنَ
اَشْغَالَ الدُّنْيَا يَتَدَاعَى بَعْضُهَا اِلَى بَعْضٍ ... فَالْوَاجَبَ
عَلَيْهِ اَلنُّهُوْضُ اِلَى مَا يُوْصِلُهُ اِلَى مَوْلاَ هُ قَبْلَ الْفَوَاتِ
وَلِذَا قِيْلً الْوَقْتُ كَالسَيْفِ إِنَ اَّمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ
Orang
yang menunda-nunda atau menangguhkan amal ibadahnya, disamping tidak tepat,
mungkin sebelum sampai pada waktu yang
ditangguhkan dia sudah kedahuluan pati. Mungkin tidak kedahuluan pati, tapi
semangatnya atau hasratnya menjadi semakin kendor, ditlikung oleh nafsu, dan
mungkin datang acara baru yang lain lagi. Manusia selalu dikepung oleh
bermacam-macam kepentingan ini itu ini itu. Satu belum selesai sudah datang perkara
yang lain. Tiap-tiap waktu membuat tuntutan sendiri-sendiri. Ingin ini ingin
itu, perlu ini perlu itu dan seterusnya. Maka menunda-nunda waktu untuk melakukan suatu amal perbuatan adalah suatu
penyelewengan!. Dan kalau terus menerus begitu, terus menuruti bujukan nafsu,
akhirnya tidak ada satu amal perbuatanpun yang dapat dirampungkan dengan
sempurna. lbarat masakan matang tidak mentahpun bukan. Magel istilah jawa.
Maka
yang wajib harus diperhatikan oleh setiap murid atau saalik ialah selalu
menjaga waktu, mengisi segala waktunya segala kesempatannya untuk melakukan
amal-amal ibadahnya kepada Alloh Ta'ala ! Untuk melaksanakan pengabdian diri
kepada Alloh Ta'ala. Dikatakan diatas tadi.
الْوَقْتُ كَالسَيْفِ
إِنْ لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ
(Waktu itu seperti pedang,
jika tidak engkau menggunakan pedang itu, tentu akan memotong lehermu).
Kalau waktu tidak dimanfaatkan untuk “Fafirruu
Ilalloh”, dia akan terbunuh oleh kesempatan itu dan akan diserahkan menjadi
tawanan imperialis nafsunya. Diinjak-injak, diperkosa dan dijerumuskan oleh
imperialis nafsunya ke dalam jurang kehancuran!.
Waktu
atau kesempatan adalah rohmat karunia Tuhan yang harus disyukuri. Maka siapa
yang tidak mensyukuri waktu, yaitu menggunakannya untuk ibadah pengabdian diri
kepada Alloh, satu-satunya jalan yang membahagiakan dirinya, otomatis waktu
yang tidak dimanfaatkan begitu menjadi siksa yang menyengsarakan dirinya. Kalau
tidak menjadi “tsawab” pahala, menjadi “iqob” siksa.
Terserahlah! Lha! ini para hadirin-hadirot sekalipun
soal kecil atau besar, kita perlu koreksi keadaan diri kita masing-masing!
Apakah sudah memanfaatkan waktu kita untuk “tsawab” ataukah kita biarkan untuk
“iqob”, yaitu menunda-nunda waktu. Padahal sudah diperingatkan dan diperintah
oleh Alloh SWT seperti di atas tadi “udzkurulloha qiyaaman wa qu’uudan wa 'ala
junuubikum”…
“Kalau tidak bisa dengan berdiri ya dengan duduk, kalau
tidak bisa duduk ya dengan berbaring. Seketika itu juga. tidak usah
menanti-nanti kalau bisa berdiri dan sebagainya. Kalau bisa, ya, lahir batin.
Tapi kalau terpaksa ya batinnya saja!. Kalau batin tidak bisa, ya lahimya saja.
Daripada sama sekali tidak ada kegiatan ubudiyah!.
Jadi,
dzikir atau ibadah yang sempurna harus dhohiron wa baatinan. Lahirnya ya
ibadah, batinnya juga ibadah!. Tapi kalau terpaksa tidak dapat lahir batin,
yah! batinnya saja. Kalau batin tidak bisa, yaa! lahirnya, daripada sama sekali
tidak. Tidak bisa hudlur, umpamanya. Yah dipaksa saja sekuat-kuatnya Insya
Alloh Tuhan akan memberikan pertolongan! Asal
sungguh-sungguh berkemauan lebih-lebih dengan amalan
sholawat. Itu lebih mudah. Tapi umumnya ya ibadah apa saja. Sekalipun belum
dapat sempurna, ya semampunya dulu. Harus kita teruskan.
لاَتَطْلَبُ مِنْهُ اَنْ يُخْرِجَكَ مِنْ
حَالَةٍ لِيَسْتَعْمَلَكَ فِيْمَا سِوَاهَا فَلَوْ اَرَادَكَ لاَسَتَعْمَلَكَ مِنْ
غَيْرِ اِخْرَاجٍ
(Engkau jangan meminta kepada Alloh supaya dipindah dari
suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sebab kalau Alloh menghendakinya, tentulah
merubah keadaanmu tanpa merubah keadaan yang lama).
Ini
kita diperintahkan agar supaya jangan memohon kepada Tuhan atau usaha supaya
keluar dari suatu keadaan dimana yang kita hadapi. Baik itu keadaan bidang
dunia, bidang ekonomi maupun bidang agama. Bidang dunia misalnya seperti
bertani, berdagang atau buruh dan sebagainya. Bidang agama misalnya bidang
ilmu, menuntut ilmu atau mengajar dan lain-lain. Minta keluar dari
keadaan-keadaan seperti diatas dengan maksud supaya bisa ubudiyah kepada Tuhan.
Ini tidak tepat. Sebab ubudiyah kepada Tuhan dapat dilakukan dalam segala
keadaan. Umpamanya seorang pedagang. Wah kalau saya terus berdagang begitu
tidak bisa ubudiyah kepada Tuhan. Karena itu saya harus memohon dan usaha
pindah kelapangan pekerjaan yang lain, jadi guru, mengajar ilmu agama, dengan
begitu tentu saya bisa lebih tekun ibadah kepada Tuhan. Dan sebagainya dan
sebagainya. Ini tidak benar, tidak boleh begitu. Berarti tidak ridlo kepada
Tuhan! Tidak puas dijadikan Tuhan menjadi petani atau pedagang, atau pengusaha,
atau pengajar dan sebagainya dan sebagainya, dengan alasan tidak bisa ibadah
ini tidak wajar begitu. Justru adanya seseorang dijadikan pedagang atau petani
atau tukang dan sebagainya itu, justru supaya dimanfaatkan untuk beribadah
kepada Tuhan. justru bertani, berdagang dan sebagainya itu supaya dilaksanakan
dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Dalam keadaan bagaimanapun juga seseorang
dapat melaksanakan ibadah
No comments:
Post a Comment