Ulama' Besar Kediri; Mbah KH. Mohammad Ma’roef Kedunglo dan Mbah KH. Abdul Karim Lirboyo adalah sosok Ulama' yang senantiasa ikut aktif dalam mempertahankan kemerdekaan RI namun tidak tertacat dalam sejarah nasional.
Dua Tokoh ini telah berteman akrab ketika sama-sama nyantri di
Pondok Pesantren Bangkalan Madura yang diasuh oleh Mbah Yahi Kholil Ra,
begitu juga Beliau berdua teman seangkatan Hadlrotusy-syeh Mbah KH.
Hasim Asy’ari Pondok Pesantren Cukir Jombang Jawa Timur ketika mondok di
Bangkalan.
Kediri mendapat julukan “kota santri”, karena saking banyaknya pondok
pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang
terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo.
Berikut ini
sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo.
Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto
Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau
pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren
Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh,
seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu
menantunya yang bernama KH. Abdul Karim Ra, seorang yang Alim berasal
dari Magelang Jawa Tengah. Mbah KH. Mohammad Ma’roef Ra Ponpes Kedunglo
pun juga sama2 menantunya Mbah KH.Sholeh Ra Banjarmelati Kediri dengan
anak perempuannya yang pertama yang bernama Mbah Nyai Hj. Siti Hasanah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya
dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun
1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari
perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh
Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas
dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang
da’i, karena Mbah Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim
di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga
atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan
menempatkan salah satu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo.
Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan
menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama
kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat
itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan
makhluk halus yang lari tunggang langgang
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan
surau mungil nan sederhana.
Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama
yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo.
Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan
musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama
nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.
Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa
waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang,
daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan
Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin
dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri
sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu
agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua
menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri.
Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo
masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka
berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung
halamannya.
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh
masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti
santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan
Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling
disekitar pondok.
Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok
pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai
macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana
ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di
Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren
yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan,
sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada
masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren
Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul
Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan
atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu
digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu
ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan
kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH.
Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid
yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar
yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta
pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul
Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk
sowan berkonsultasi dengan Mbah KH. Ma’ruf Ponpes Kedunglo Kediri
mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan
pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH.
Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan
masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai
pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15
Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara
ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH.
Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah
berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang
tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya
bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa
kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali
masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa Mbah KH.
Ma’ruf Kedunglo pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi
sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian
bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa
longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan
menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H.
Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada
tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M.
ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini
diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi
kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak
sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai
kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus
beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal
jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan
histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya
saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan
sedikit ditambal sulam.
PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DAN KEDUNGLO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN
MEMPERTAHANKANNYA
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah
satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir
penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada
waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih
demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le
Jakarta, maka KH. Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan
hadir bersama KH. Ma’ruf selaku pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo dan
KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh KH. Abdul Madjid Ma’ruf
(MU’ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA0. Ketika Jepang mengadakan latihan
di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon
kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah
Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa
santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz
Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor,
segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan
pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha
mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan
tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia
merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran,
segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo.
Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk
barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat
pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia
untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang
dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala
tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga,
beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota
besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa
syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan
hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat
pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia
termasuk santri Lirboyo dan Kedunglo tidak dapat terlukiskan lagi.
MBAH YAHI MA’RUF DENGAN KEAMPUHAN DO’A NYA
Sumbangsih Mbah Yahi Ma’roef kepada negara di zaman perjuangan mengusir
penjajah amatlah besar. Hal ini beliau tunjukkan saat pertempuran 10
Nopember 1945 di Surabaya meledak. Bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan
Kyai Hamzah (ayah Mbah Nyahi Shafiyah RA) beliau turut ke medan
pertempuran walau berada di garis belakang sebagai tukang do’anya.
Berkat do’a Mbah Ma’roef, tak jarang bom yang meledak berubah menjadi
butiran-butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diriwayatkan oleh
murid-muridnya yang juga turut berperang, para tentara dan santri yang
ikut berjuang kebal dengan berbagai senjata setelah diasmai oleh Mbah
Ma’roef.
Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong unik. Pertama setelah
pasukan dibariskan, beliau menyuruh mereka agar minum air jeding di
utara serambi Masjid. Selanjutnya beliau berdo’a yang diamini oleh
pasukan pejuang. Di antara do’anya, “Allahumma salimna minal bom wal
bunduq, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau yang
kedengarannya nyeleneh ternyata sangat manjur. Terbukti pada semua
tentara yang sudah beliau isi kebal aneka senjata.
Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur punggungnya terkena
martil. Tapi beliau tidak apa-apa malah punggungnya ngecap martil
sebesar ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga mengikuti
pertempuran di Surabaya. Kabarnya kaki –nya juga terkena bom tapi tidak
apa-apa.
Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri) Rembang, di zaman itu
pernah di kejar-kejar penjajah Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo
minta perlindungan kepada Mbah Ma’roef. Kemudian Mbah Ma’roef
mengijazahi sebuah do’a, setelah diamalkan beliau selamat dari incaran
orang Jepang. Berkat jasa Kyai Kedunglo, beliaupun lalu mewasiatkan
kepada anak cucunya agar terus mengamalkan do’a pemberian Mbah Ma’roef,
doa tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa diabadikan dalam buku terjemah
Burdah. Itulah Mbah Ma’roef, memanfaatkan keampuhan do’anya dalam
mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira
tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan
kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan
itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang
bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif
16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke
tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd.
Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama
Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam
markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk
mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa
sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor
Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari
dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari
komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar.
Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden
dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan
gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah
berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar
yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu.
Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada
sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal
16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali.
Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan
perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut
dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia.
Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan
Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil
para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di
kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya.
Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas
kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut
hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan
resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya
hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi
motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga,
termasuk pesantren Lirboyo.
Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara
sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya.
Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai
mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat
pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia.
Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar
diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda
Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30
Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris
yang masih berusia 45 tahun.
Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap
KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH
Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai
titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada
santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat
Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim
ke Surabaya.
Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali
berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing,
mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu
itu berjumlah sebanyak 97 santri dari Lirboyo dan Kedunglo
No comments:
Post a Comment