jama'ah wahidiyah

JAMA'AH WAHIDIYAH

Saturday, 10 March 2012

Enak di depan gak enak di belakang...(itulah ...MALES..)


AL-HIKAM I 

ِبسْمِ اللهِ الرَّحمْنَ ِالرَّحِيْمِ
{اِحَالَتُكَ اْلاَعْمَالُ عَلَى وُجُوْدِ الفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النَّفْسِ }

(menangguhkan amal-amal ibadah, menangguhkan berbuat kebaikan, ditangguhkan, ditunda-tunda kalau sudah menganggur, kalau sudah longgar sekarang masih repot ini itu, ini adalah sifat-sifat nafsu yang kumprung, yang bodoh, yang blo'on).

            Nafsu yang kumprung, yang bodoh. Atau semua nafsu itu kumprung, dungu. Saya akan beribadah besok-besok saja kalau sudah, sudah selesai pekerjaanku ini, kalau sudah... selesai garapan sawah, kalau sudah... tidak menyusui anak, kalau sudah... tentram rumah tangga saya, kalau sudah... sehat kembali, kalau sudah pensiun... dan sebagainya dan sebagainya. Ini semua ajakan nafsu. jangan diperturutkan!. Jangan dilayani!. Ajakan nafsu pasti menyeret kepada kebinasaan dan kehancuran!. Menunda-nunda pekerjaan adalah bujukan nafsu!. Alloh SWT telah memberi peringatan dalam firman-Nya yang bernada bertanya dalam surat AL-Hadid ayat 16:

اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْ بُهُمْ لِذِكْرِ الله ِوَمَا نَزَلَ مِنَ اْلحَقِّ .....الحديد
            (Belum datang waktunya bagi mereka orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka khusyu mengingat kepada Alloh SWT dan kepada kebenaran-kebenaran yang telah turun kepada mereka ? ... ).
            Sesungguhnya malah sudah jauh terlambat!. Ada lagi, itu dawuh hadist Rosululloh SAW :

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابِكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفِرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَغَنَّاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ. الحديث
(Peliharalah lima macam keadaan sebelum datangnya lima macam keadaan yang lain, yaitu masa muda, sebelum datangnya masa tua, dan selagi sehat sebelum atau mumpung tidak sakit, selagi waktu longgar mumpung belum repot, dan selagi kaya mumpung belum fakir, dan selagi masih hidup mumpung belum mati).

            Jadi dalam keadaan bagaimanapun juga kita harus terus, terus memanfaatkan segala keadaan untuk ingat kepada Alloh, untuk mengabdikan diri kepada Alloh, untuk.... untuk Fafirruu Ilallohi wa Rosuulihi SAW :
فَاذْكُرُوْا الله َقِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ . النسآء:٥٣
(... ingatlah kepada Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring).
Jadi pokoknya dimana kita. berada dan apapun yang kita lakukan, harus senantiasa dzikir atau ingat kepada Alloh!. “udzurullooha” = dzikirlah kepada Tuhan!.

            Dzikir itu macam-macam pendapat. Imam Nawawi, semua, semua ibadah itu dzikir. Ubudiyah itu dzikir. LILLAH, semua apa saja yang didasari LILLAH, itu dzikir. Semua dzikir atau ibadah, “muqooribatun ilalloh” . Mendekatkan kepada Alloh! makin banyak ibadahnya, disamping BILLAH otomatis, makin dekat kepada Alloh SWT. Makin diridloi Alloh SWT Makin diridloi Alloh SWT  Makin sempurna indallohi ta'ala.

فَاِذَا كَانَ المرُِيْدُ مُشْتَغِلًا بِحَالٍ مِنْ اَحْوَالِ دُنْيَاهُ وَكَانَ ذَلِكَ يَمْنَعُهُ مِنَ اْلاعْمَالِ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى حَضْرَةِ َمْولَاهُ ....كَانَ ذَلِكَ دَلِيْلٌ عَلَى رُعُوْنَةِ نَفْسِهِ
Seorang murid menghendaki wusul kepada Alloh SWT. Atau “Saalik” Istilah “Saalik” dan “murid” sama maksudnya. Tapi ada sedikit perbedaan.
“murid”, masih berkehendak, dan “saalik” sudah berjalan. Sudah berada ditengan jalan. Kedua-duanya itu belum bebas dari nafsu secara keseluruhannya. Tapi sesungguhnya “murid”, karena dia sudah berkehendak, berarti sudah dapat mengalahkan nafsunya. Sekali pun baru sekian prosennya. Lebih-lebih “saalik”. sudah berjalan, sedikit atau banyak sudah dapat menguasai nafsu. Sekalipun belum seratus persen. Tapi soal BILLAH dengan sendirinya belum menguasai. Selanjutnya Syekh Pensyarakh Al-Hikam yaitu Syekh Ibnu ‘Ibad mengulas dengan kata selanjutnya :

وَقَدْلاَ يَجِدُ مُهْلَةٌ بَلْ يَحْتَطِفُهُ المَوْتُ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْيَزْدَادُ شُغْلُهُ لأَنَ اَشْغَالَ الدُّنْيَا يَتَدَاعَى بَعْضُهَا اِلَى بَعْضٍ ... فَالْوَاجَبَ عَلَيْهِ اَلنُّهُوْضُ اِلَى مَا يُوْصِلُهُ اِلَى مَوْلاَ هُ قَبْلَ الْفَوَاتِ وَلِذَا قِيْلً الْوَقْتُ كَالسَيْفِ إِنَ اَّمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ

            Orang yang menunda-nunda atau menangguhkan amal ibadahnya, disamping tidak tepat, mungkin  sebelum sampai pada waktu yang ditangguhkan dia sudah kedahuluan pati. Mungkin tidak kedahuluan pati, tapi semangatnya atau hasratnya menjadi semakin kendor, ditlikung oleh nafsu, dan mungkin datang acara baru yang lain lagi. Manusia selalu dikepung oleh bermacam-macam kepentingan ini itu ini itu. Satu belum selesai sudah datang perkara yang lain. Tiap-tiap waktu membuat tuntutan sendiri-sendiri. Ingin ini ingin itu, perlu ini perlu itu dan seterusnya. Maka menunda-nunda waktu untuk  melakukan suatu amal perbuatan adalah suatu penyelewengan!. Dan kalau terus menerus begitu, terus menuruti bujukan nafsu, akhirnya tidak ada satu amal perbuatanpun yang dapat dirampungkan dengan sempurna. lbarat masakan matang tidak mentahpun bukan. Magel istilah jawa.
           
            Maka yang wajib harus diperhatikan oleh setiap murid atau saalik ialah selalu menjaga waktu, mengisi segala waktunya segala kesempatannya untuk melakukan amal-amal ibadahnya kepada Alloh Ta'ala ! Untuk melaksanakan pengabdian diri kepada Alloh Ta'ala. Dikatakan diatas tadi.
الْوَقْتُ كَالسَيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ

(Waktu itu seperti pedang, jika tidak engkau menggunakan pedang itu, tentu akan memotong lehermu).
           
Kalau waktu tidak dimanfaatkan untuk “Fafirruu Ilalloh”, dia akan terbunuh oleh kesempatan itu dan akan diserahkan menjadi tawanan imperialis nafsunya. Diinjak-injak, diperkosa dan dijerumuskan oleh imperialis nafsunya ke dalam jurang kehancuran!.

            Waktu atau kesempatan adalah rohmat karunia Tuhan yang harus disyukuri. Maka siapa yang tidak mensyukuri waktu, yaitu menggunakannya untuk ibadah pengabdian diri kepada Alloh, satu-satunya jalan yang membahagiakan dirinya, otomatis waktu yang tidak dimanfaatkan begitu menjadi siksa yang menyengsarakan dirinya. Kalau tidak menjadi “tsawab” pahala, menjadi “iqob” siksa.

Terserahlah! Lha! ini para hadirin-hadirot sekalipun soal kecil atau besar, kita perlu koreksi keadaan diri kita masing-masing! Apakah sudah memanfaatkan waktu kita untuk “tsawab” ataukah kita biarkan untuk “iqob”, yaitu menunda-nunda waktu. Padahal sudah diperingatkan dan diperintah oleh Alloh SWT seperti di atas tadi “udzkurulloha qiyaaman wa qu’uudan wa 'ala junuubikum”…
Kalau tidak bisa dengan berdiri ya dengan duduk, kalau tidak bisa duduk ya dengan berbaring. Seketika itu juga. tidak usah menanti-nanti kalau bisa berdiri dan sebagainya. Kalau bisa, ya, lahir batin. Tapi kalau terpaksa ya batinnya saja!. Kalau batin tidak bisa, ya lahimya saja. Daripada sama sekali tidak ada kegiatan ubudiyah!.
           
            Jadi, dzikir atau ibadah yang sempurna harus dhohiron wa baatinan. Lahirnya ya ibadah, batinnya juga ibadah!. Tapi kalau terpaksa tidak dapat lahir batin, yah! batinnya saja. Kalau batin tidak bisa, yaa! lahirnya, daripada sama sekali tidak. Tidak bisa hudlur, umpamanya. Yah dipaksa saja sekuat-kuatnya Insya Alloh Tuhan akan memberikan pertolongan! Asal

sungguh-sungguh berkemauan lebih-lebih dengan amalan sholawat. Itu lebih mudah. Tapi umumnya ya ibadah apa saja. Sekalipun belum dapat sempurna, ya semampunya dulu. Harus kita teruskan.

            لاَتَطْلَبُ مِنْهُ اَنْ يُخْرِجَكَ مِنْ حَالَةٍ لِيَسْتَعْمَلَكَ فِيْمَا سِوَاهَا فَلَوْ اَرَادَكَ لاَسَتَعْمَلَكَ مِنْ غَيْرِ اِخْرَاجٍ

            (Engkau jangan meminta kepada Alloh supaya dipindah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sebab kalau Alloh menghendakinya, tentulah merubah keadaanmu tanpa merubah keadaan yang lama).

            Ini kita diperintahkan agar supaya jangan memohon kepada Tuhan atau usaha supaya keluar dari suatu keadaan dimana yang kita hadapi. Baik itu keadaan bidang dunia, bidang ekonomi maupun bidang agama. Bidang dunia misalnya seperti bertani, berdagang atau buruh dan sebagainya. Bidang agama misalnya bidang ilmu, menuntut ilmu atau mengajar dan lain-lain. Minta keluar dari keadaan-keadaan seperti diatas dengan maksud supaya bisa ubudiyah kepada Tuhan. Ini tidak tepat. Sebab ubudiyah kepada Tuhan dapat dilakukan dalam segala keadaan. Umpamanya seorang pedagang. Wah kalau saya terus berdagang begitu tidak bisa ubudiyah kepada Tuhan. Karena itu saya harus memohon dan usaha pindah kelapangan pekerjaan yang lain, jadi guru, mengajar ilmu agama, dengan begitu tentu saya bisa lebih tekun ibadah kepada Tuhan. Dan sebagainya dan sebagainya. Ini tidak benar, tidak boleh begitu. Berarti tidak ridlo kepada Tuhan! Tidak puas dijadikan Tuhan menjadi petani atau pedagang, atau pengusaha, atau pengajar dan sebagainya dan sebagainya, dengan alasan tidak bisa ibadah ini tidak wajar begitu. Justru adanya seseorang dijadikan pedagang atau petani atau tukang dan sebagainya itu, justru supaya dimanfaatkan untuk beribadah kepada Tuhan. justru bertani, berdagang dan sebagainya itu supaya dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Dalam keadaan bagaimanapun juga seseorang dapat melaksanakan ibadah