jama'ah wahidiyah

JAMA'AH WAHIDIYAH

Tuesday 25 April 2017

Do'a ku tidak Hanya untuk diriku


Mari Kita ikuti
Miladiyah-newJAMA’AH WAHIDIYAH
 KABUPATEN – KOTA BLITAR 
PANITIA PELAKSANA MUJAHADAH  RUBU’USSANAH

Blitar, 15 April 2017
Nomor :  7 /JW.Kab/ PPMR / IV / 2017                                            Kepada Yth,  
Lamp   :  ---                                                                             Bapak / Ibu/ Sdr. ______________
Hal      : UNDANGAN                                                                                 
Di        Kediaman
 


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, dengan senantiasa memohon Rahmat Alloh SWT, Syafa’at Beliau Rosululloh SAW, Barokah Nadzroh Ghoutsu Hadzaz  Zaman Ra. Serta ngemban dawuh Beliau Hadlrotul Mukarrom Romo KH. Abdul Hamid Madjid, Untuk melaksanakan kegiatan  Mujahadah Rubu’ussanah / Triwulan di Kabupaten Blitar

Maka dengan rendah hati mohon kehadirannya bapak / ibu /sdr pengamal sholawat wahidiyah dan simpatisan besuk pada :

Hari.Tanggal               : Sabtu Malam Minggu, 29 April 2017
Waktu                         : 19.30 WIB sampai selesai
Tempat                                     : Rmh. Bp. Moh Bisri Bakung Udanawu Blitar
  Utara Polsek Udanawu ke barat  + 700 Meter
Kuliah Wahidiyah       : Kyai Abdulloh Ma’mun dari Blitar
Fatwa Amanah            : Beliau Romo KH Abdul Hamid Madjid dari Kedunglo Kediri


Demikian Undangan  ini kami sampaikan, atas perhatian dan berkenannya. Kami sampaikan terima kasih teriring do’a  “Jazaa Kumulloohu Khoiroti Wasa’aadatid Dunya Wal Akhiroh” Amiin

Wassalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

                           K e t u a                                                                            Sekretaris           


 

                                                                  

            ( K. ABDULLOH MA’MUN)                                  (IMAM MUKARROM MUSLIM) 

Tuesday 21 February 2017

Kuliah Wahidiyah, Ibu Nyai Madjidatul Wahidah



Mujahadah Nisfussanah : adalah yang dilaksanakan
seluruh pengamal Wahidiyah sewilayah propinsi dalam setengah tahun sekali atau 6 bulan .

Sunday 12 February 2017

Ulama Kediri Ikut Mempertahankan Kemerdekaan RI

Ulama' Besar Kediri; Mbah KH. Mohammad Ma’roef Kedunglo dan Mbah KH. Abdul Karim Lirboyo adalah sosok Ulama' yang senantiasa ikut aktif dalam mempertahankan kemerdekaan RI namun tidak tertacat dalam sejarah nasional. 

Dua Tokoh ini telah berteman akrab ketika sama-sama nyantri di Pondok Pesantren Bangkalan Madura yang diasuh oleh Mbah Yahi Kholil Ra, begitu juga Beliau berdua teman seangkatan Hadlrotusy-syeh Mbah KH. Hasim Asy’ari Pondok Pesantren Cukir Jombang Jawa Timur ketika mondok di Bangkalan. Kediri mendapat julukan “kota santri”, karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. 

Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo.

Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim Ra, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah. Mbah KH. Mohammad Ma’roef Ra Ponpes Kedunglo pun juga sama2 menantunya Mbah KH.Sholeh Ra Banjarmelati Kediri dengan anak perempuannya yang pertama yang bernama Mbah Nyai Hj. Siti Hasanah. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati. Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Mbah Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan salah satu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana. Santri Perdana dan Pondok Lama Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai. Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya. Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok. Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo. Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok. Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan Mbah KH. Ma’ruf Ponpes Kedunglo Kediri mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang. Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa Mbah KH. Ma’ruf Kedunglo pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah. Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam. 

PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DAN KEDUNGLO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA 

Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH. Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf selaku pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh KH. Abdul Madjid Ma’ruf (MU’ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA0. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya. Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo dan Kedunglo tidak dapat terlukiskan lagi. 

 MBAH YAHI MA’RUF DENGAN KEAMPUHAN DO’A NYA 

Sumbangsih Mbah Yahi Ma’roef kepada negara di zaman perjuangan mengusir penjajah amatlah besar. Hal ini beliau tunjukkan saat pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya meledak. Bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah (ayah Mbah Nyahi Shafiyah RA) beliau turut ke medan pertempuran walau berada di garis belakang sebagai tukang do’anya. Berkat do’a Mbah Ma’roef, tak jarang bom yang meledak berubah menjadi butiran-butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diriwayatkan oleh murid-muridnya yang juga turut berperang, para tentara dan santri yang ikut berjuang kebal dengan berbagai senjata setelah diasmai oleh Mbah Ma’roef. Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong unik. Pertama setelah pasukan dibariskan, beliau menyuruh mereka agar minum air jeding di utara serambi Masjid. Selanjutnya beliau berdo’a yang diamini oleh pasukan pejuang. Di antara do’anya, “Allahumma salimna minal bom wal bunduq, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat manjur. Terbukti pada semua tentara yang sudah beliau isi kebal aneka senjata. Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-apa malah punggungnya ngecap martil sebesar ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga mengikuti pertempuran di Surabaya. Kabarnya kaki –nya juga terkena bom tapi tidak apa-apa. Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri) Rembang, di zaman itu pernah di kejar-kejar penjajah Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo minta perlindungan kepada Mbah Ma’roef. Kemudian Mbah Ma’roef mengijazahi sebuah do’a, setelah diamalkan beliau selamat dari incaran orang Jepang. Berkat jasa Kyai Kedunglo, beliaupun lalu mewasiatkan kepada anak cucunya agar terus mengamalkan do’a pemberian Mbah Ma’roef, doa tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa diabadikan dalam buku terjemah Burdah. Itulah Mbah Ma’roef, memanfaatkan keampuhan do’anya dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) . Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya. Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun. Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya. Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri dari Lirboyo dan Kedunglo

Wednesday 8 February 2017

Tahun Kelahiran Mu'allif Sholawat Wahidiyah

MBAH K.H. ABDOEL MAJID MA’ROEF RA :
SKETSA BIOGRAFI


A. Kelahiran

Terjadi perbedaan pendapat mengenai tahun dan tanggal berapakah Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dilahirkan. Menurut Ibu Dra. Nurul Ismah Madjid ---putra kedua beliau---, diperkirakan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA lahir pada tahun 1916. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ketika ibunya ---Mbah Nyai Hj. Shofiyah¬¬¬¬¬--- menikah dengan ayahnya berusia 16 tahun, sebelas tahun lebih muda dari Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA. Saat ini ---saat penulis melakukan wawancara dengan Ibu Dra. Nurul Ismah Madjid--- usia Mbah Nyai Hj. Shofiyah 77 tahun. Pendapat Ibu Nurul ini dibenarkan oleh ibunya, Mbah Nyai Hj. Shofiyah juga ingat tahun pernikahannya, yaitu bersamaan dengan masa penjajahan Jepang di Indonesia (1943-1945). Ada juga pendapat yang menyatakan dengan pasti tahun kelahiran Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA yaitu tahun 1917. Dan ada pula yang menyatakan bahwa Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA lahir pada tanggal 10 Oktober 1918.

Berdasarkan data-data tersebut pendapat Ibu Dra. Nurul Ismah Madjid merupakan data yang mendekati kebenaran. Alasan yang dapat penulis kemukakan dengan menggunakan analisis sebagai berikut. Tahun saat penulis melakukan wawancara dengan Mbah Nyai Hj. Shofiyah dikurangi dengan usia Mbah Nyai Hj. Shofiyah saat ini (2004-77=1927). Jadi dapat dipastikan bahwa Mbah Nyai Hj. Shofiyah lahir pada tahun 1927, sedangkan saat menikah beliau berusia 16 tahun atau tahun 1943, tahun dimana masa penjajahan Jepang di Indonesia. Dikaitkan dengan tahun kelahiran Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dapat diperkirakan bahwa beliau lahir tahun 1916, yaitu dari tahun kelahiran Mbah Nyai Hj. Shofiyah dikurangi selisih usia Mbah Nyai Hj. Shofiyah saat menikah dengan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA, yaitu sebelas tahun (1927-11=1916). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA diperkirakan lahir pada tahun 1916, tetapi tidak diperoleh data secara pasti tentang hari serta tanggalnya.

Yang paling bergembira atas kelahiran bayi tersebut adalah K.H. Mohammad Ma’roef RA, ayah dari bayi laki-laki itu. Cahaya kegembiraan memancar dari wajahnya yang bersih dan berwibawa. Terbayar sudah penantiannya yang semenjak dari tadi menunggu di luar ruang persalinan. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, K.H. Mohammad Ma’roef RA menyambut kelahiran bayi laki-lakinya itu dengan rasa syukur dan do’a, kiranya Allah SWT berkenan memberikan keturunannya itu sebagai panutan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Setelah bayi laki-laki itu dimandikan, K.H. Mohammad Ma’roef RA segera melaksanaklan tugas mulia sebagaimana disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu membisikkan dua hal suci adzan dan iqamat pada telinga sang bayi. Pada telinga kanannya, K.H. Mohammad Ma’roef RA membisikkan adzan dan iqamat pada telinga kirinya.

K.H. Mohammad Ma’roef RA kemudian memberi nama bayi itu dengan nama Abdoel Majid. Diberi nama Abdoel Majid, dengan harapan, kelak ia mempunyai sifat yang shabar sebagaimana sifat yang dimiliki oleh kakeknya yang juga bernama Abdoel Majid, seorang kiai yang sangat terkenal akan sifat kesabarannya. Sesuai dengan tradisi Islam, pemberian nama itu diiringi dengan bacaan shalawat nabi dan do’a. Untuk itu K.H. Mohammad Ma’roef RA mengundang sanak kerabat dan tetangga terdekat untuk menghadiri tasyakuran atas kelahiran putranya yang ke tujuh. Harum semerbak wewangian dipercikkan kepada hadirin. Beberapa helai rambut Abdoel Majid dipotong dalam prosesi itu.

Mbah K.H. Abdoel Majid RA merupakan anak ke tujuh dari sepuluh bersaudara hasil perkawianan K.H. Mohammad Ma’roef RA dengan Nyai Hj. Siti Hasanah. Kesepuluh anak beliau terdiri dari tiga laki-laki dan tujuh perempuan yaitu; Nyai Mustha’inah, K.H. Muhammad Sayyid Yasin, Nyai Siti Aminah, Nyai Siti Saroh, Nyai Siti Asiyah, Nyai Siti Romlah, K.H. Abdoel Madjid, Kiai Abdul Malik, Siti Fatimah dan Siti Maimunah.

Pondok Pesantren Kedunglo Miladiyyah

 
Pondok Pesantren Kedunglo Miladiyyah

Monday 9 January 2017


Al Hikam, 8  Januari 2017
Pondok Pesantren Kedunglo Miladiyyah kediri Jawa Timur

KH Abdul Hamid Madjid
Mengingat, mengupas Kembali Al Hikam KH Abdul Madjid Ma'roef Qs Wa Ra
Mua'allif Sholawat Wahidiyah

ttps://www.youtube.com/watch?v=kt4IvAa1pOo