jama'ah wahidiyah

JAMA'AH WAHIDIYAH

Sunday 24 January 2016

Pembagian Tauhid Dalam Al Qur’an

Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari katawahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya berupa rububiyahuluhiyah, dan asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid I/7).
Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat dalam hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 63).

Pembagian Tauhid dalam Al Qur’an   

Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
Perhatikan ayat di atas:
(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah.
(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.
(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.
Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut:
  1. Tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:
    أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
    “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).
  2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:
    ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
    ”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).
  3. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
    ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11) (Lihat Al-Qaulul Mufiiid  I/7-10).
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam ma’rifat wal itsbat(pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat Fathul Majid 18).
Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan hasil penelitian para ulama terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan termasuk bid’ah karena memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kaitan Antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}
“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).
Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}
“Katakanlah;” Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1). Raja manusia (2). Sesembahan manusia (3)” (An-Naas: 1-3).
Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia, sedangkan makna Ilaahadalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya mencakup makna keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur: “Siapa Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).
قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah” (Al-An’am: 164).
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah” (Fushshilat: 30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah  ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad 27-28).

Isi Al-Qur’an Semuanya Tentang Tauhid

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an menjelaskan hal-hal berikut:
  1. Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan perkataan-Nya. Ini adalah termasuk tauhidul ‘ilmi al khabari (termasuk di dalamnya tauhid rububiyah danasma’ wa shifat).
  2. Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at thalabi (tauhid uluhiyah).
  3. Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan menjauhi larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa mukammilatuhu (hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
  4. Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang balasan kemuliaan di dunia dan balasan kemuliaan di akhirat. Ini termasuk jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
  5. Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa siksa di dunia dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang menyelisihi hukum tauhid.
Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya. Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan balasan bagi mereka (Lihat  Fathul Majid 19).
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang pembagian tauhid. Semoga Allah Ta’alasenantiasa meneguhkan kita di atas jalan tauhid untuk mempelajarinya, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

Friday 15 January 2016

Niat mu untuk siapa




Kepada siapa amal kita diperuntukkan, apakah kau minta balasan dari amal-amalmu. inilah hal yang perlu kita perhatikan setiap hari.

Maka untuk memperoleh amal yang benar-benar bernilai dan menhasilkan dari shohibul jaza Alloh SWT, tentunya harus kita perhatikan :

- Niat kita 

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am:162).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayinah: 5).

“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pekerjaan ini mudah di ucapakan tapi apakah sudah sering menyertau setiap amal baik kita apa belum , mari di lihat dan senantiasa kita koreksi dan perhatikan 

Wednesday 13 January 2016

KH. Mahrus Ali Bertanya Tentang Wahidiyah

TANGGAPAN KH. DJAZULI YUSUF TERHADAP SURAT 

KH. MAHRUS ALI


TANGGAPAN KH. DJAZULI YUSUF TERHADAP SURAT KH. MAHRUS ALI
            Dengan hormat perkenankan dengan surat ini saya sampaikan  kehadapan Bapak, untuk maksud sebagai ganti shilatur rohmi pribadi saya kepada Bapak. Sehubungan beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 21 April 1985 saya telah menerima kiriman selembar foto copy surat yang berkop “PENGASUH PONDOK PESANTREN LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR” yang di sudut bawahsebelah kanan tertulis dengan huruf cetak “KH. Mahrus Ali” dan pada sudut kanan atas tertulis “28 Desember 1984”, surat ini saya terima dari salah seorang teman warga NU di Jawa Tengah yang ketepatan sebagai pengamal Sholawat Wahidiyah. Dan saudara tersebut meminta kepada saya supaya mau menanggapi isi foto copy surat yang dikirimkan itu dan selanjutnya supaya disampaikan kepada Bapak KH Mahrus Ali sesuai dengan bunyi kop surat dan tulisan cetak seperti saya sebut di atas.
            Setelah saya pelajari foto copy surat tersebut isinya memang cukup mengejutkan saya yang ketepatan juga sebagai warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan kalau boleh saya katakan sangat menyinggung perasaan saya.Dan isya Allah juga perasaan warga NU di manapun yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Sebab di dalam foto copy surat itu pada pokoknya menyalahkan kepada amalan Sholawat Wahidiyah bahkan dikatakan bahwa bahwa ajarannya bertentangan dengan syari’at Islam dan lain sebagainya.
            Oleh karena itu saya merasa terpanggil untuk mengabulkan permintaan saudara tersebut di atas untuk menanggapi surat yang dimaksud demi menghindarkan keresahan umat Islam pada umumnya dan khususnya dikalangan warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Mengingat warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sedikit jumlahnya baik yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan bahkan yang di luar Jawa sekalipun.
            Sebagai kelanjutan surat saya ini perkenankan saya ingin memetik (menukil) beberapa kalimat yang pada foto copy surat yang saya disebut di atas dan langsung saya nukil dengan menggunkan bahasa Indonesia sekalipun aslinya bahasa Jawa.
Di dalam foto copy surat itu disebut-sebut sebagai berikut :
1.      “Bahwa Sholawat Wahidiyah itu dibuat-buat oleh KH Abdoel Madjid Ma’ruf sendiri dengan  tidak ada isnad minal adillah dan Ulama-ulama Kediri khususnya Ulama NU tidak ada yang  mengamalkan”.
Sebagai tanggapan saya dalam masalah tersebut :
a.       Sholawat Wahidiyah memang betul ta’lifan (disusun) oleh Beliau KH Abdoel Madjid Ma’ruf. Dan apabila yang dikehendaki oleh Bapak dengan dibuat-buat itu dengan maksud lain  sebagai meremehkan hasil karya seseorang, itu adalah hal yang tidak terpuji untuk dilakukan atau diucapkan oleh seorang Ulama besar seperti Bapak. Hal itu sama sekali tidak mendidik, bahkan menunjukkan berkecemuknya beberapa perasaan yang bertentangan dengan diri Bapak (hasud)
b.      Pada kalimat“tidak ada isnad minal adillah”…
Apabila yang Bapak Maksudkan dengan isnad minal adillah itu silsilah yang muttashil kepada Rosulullah SAW, maka saya perlu memberikan penjelasan kepada Bapak agar Bapak lebih memahami masalah tersebut; Bahwa Sholawat itu tidak perlu dan tidak disyaratkan adanya isnad minal adillah. Karena sanadnya langsung kepada Rosulullah Saw.hal itu sebagaimana tersebut di dalam Hasyiyah Showi ‘alal Djalalaini  juz III surat Al Ahzab sebagai berikut :
وَبِالجُمْلَةِ فَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْىِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى اللهِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ لِأَنَّ الشَّيْخَ والسَّنَدَ فِيْها صَاحِبُهَا لِأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُوْصِلُ عَلَى المُصَلِّى بِخِلاَفِ غَيْرهَا مِنَ الأذْكَارِ فَلاَبُدَّ فَيْهَا مِنَ الشَّيْخِ العَارِفِ وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَّيْطَانُ فَلاَ يَنْتَفِعُ صَاحِبُهَا بِهَا. وَصِيَغُ الصَّلاةِ كَثِيْرٌ لاَتُحْصَى وَأَفْضَلُهَا مَا ذُكِرَ فَيْهَا لَفْظُ الآلِ وَالصَحْبِ فَمَنْ تَمَسَّكَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ مِنْهَا حَصَلَ لَهُ الخَيْرُ العَظِيْمُ.
c.       Dan apabila yang Bapak maksudkan isnad minal adillah itu dasar dan qo’idah syar’iyah itu pun perlu saya berikan penjelasan; sebab semua Sholawat baik yang ma’tsuroh (Sholawat yang langsung diajarkan oleh Rosulullah SAW) maupun yang ghoiru ma’tsuroh (selain dari Rosulullah SAW) seperti yang disusun oleh para ulama As Sholihin seperti Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badr, Sholawat Wahidiyah dan sebagainya. Isnad minal adillahnya langsung dari Al Qur’an dan Al Hadits seperti Firman Allah SWT dan sabda Rosulullah SAW tersebut dibawah ini :
قَالَ تَعَالَى : يَااَيُّهاالّّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلَّمُوْا تَسْلِيْمًا (الأحزاب)
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا (رواه مسلم)
Atas dasar ayat Al Qur’an dan Al Hadits di atas, semua Sholawat dengan tidak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama, sekalipun maziyah dan kegunaannya berlainan. Sebagaimana disebut dalam kitab Sa’datud Daroini halaman 373 sebagai berikut :
لِاَنَّ النّبِيِّ صَلَّى أَخْبَرَنَا بِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ ذَالِكَ فَاعِلُ مُطْلَقِ الصّلاَةِ وَلَمْ يُقَيِّدُ ذَالِكَ الإِسْتِحْقَاقِ بِكَوْنِ الصَّلاَةِ المَفْعُوْلَةِ هِىَ الصَّلاَةُ الَّتِى عَلَّمْنَا وَلَيْسَ مَعْنَى مُطْلَقِ الصَّلاَةِ المَذْكُوْرَةِ فِى الآيَةِ وَالأَحآدِيْثِ مُجْمَلاً حَتَّى يَتَوَقَّفُ عَلَى البَيَانِ. وَقَالَ بَعْدَمَا ذكر دلّ مَا تَقَدَّمَ عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ كَانَتْ مِنْ صيغ الصَّلاَةِ المَأْثُوْرَةِ أَوْ غَيْرهَا يَسْتَحَقُّ الأتى بِهَا الأجر المَوْعُوْد الوارِد فِى الأَحآدِيْثِ الصَّحِيْحَةِ
d.      Pada kalimat Ulama-ulama Kediri khususnya Ulama NU tidak ada yang mengamalkan”
Bapak hendaknya sadar, bahwa Kediri warga NU yang ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sedikit jumlahnya bisa juga sampai ribuan bahkan puluhan ribu. Apakah diantaranya sekian ribu itu tidak mungkin terdapat Ulamanya ?
Di samping itu Bapak perlu mengingat kembali tokoh dan Ulama  besar NU seperti beliau Al Mukarrom Bapak KH. Wahab Hasbullah dimana pada waktu diadakan peringatan hari ulang tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama di Pondok Kedunglo Kodya Kediri, beliau dalam pidato sambutannya antara lain menyebutkan :قَبِلْتُ إِجَازَتَكَkepada bapak Al Mukarrom KH. Abdoel Madjid Ma’ruf. Berarti Belaiu menerima ijazah Sholawat Wahidiyah dari Al Mukarrom KH. Abdoel Madjid Ma’ruf dan beliau menyetujui Sholawat Wahidiyah dijadikan amalan disamping amalan-amalan yang lain. Perlu Bapak Ketahui juga bahwa Beliau Al Mukarrom Al Marhum KH.Jazuly Pengasuh Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri Jatim.Beliau juga menerima Sholawat Wahidiyah dan semasa hidupnya juga ikut mengamalkanSholawat Wahidiyah bahkan beliau menganjurkan kepada para santrinya untuk ikut mengamalkan bukankah beliau-beliau itu Ulama-Ulama NU.
2.      Disebut juga dalam foto copy surat tersebut di atas “bahwa di Pondok Pesantren Lirboyo para santri diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya bertentangan dengan syari’at yaitu KH.Abdoel Madjid Ma’ruf telah menanggung, barang siapa yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung besuk hari Qiyamat masuk surga sampai anak keturunannya. Ini namanya ujub bil amal dan itu termasuk minal kabaair”.
Kalimat-kalimat di atas perlu saya berikan beberapa tanggapan :
a.       Pada kalimat “Ajarannya bertentangan dengan syari’at, yaitu KH. Abdoel Madjid Ma’ruf …… dst”.
Di sini Bapak menuduh seseorang dengan tanpa menunjukkan bukti. Dari mana Bapak dapatkan, sehingga Bapak berani berfatwa seperti itu ? Tuduhan kepada seseorang tanpa menunjukkan bukti adalah fitnah والفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ القَتْلِ . Hal yang demikian mestinya tidak boleh terjadi pada seorang muslim, lebih-lebih yang bertitel Ulama besar yang berpengaruh.
b.      Sedang ajaran Wahidiyah pada intinya adalah LILLAH dan BILLAH yang dimaksud adalah SYARI’AT dan HAKIKAT (periksa dalam lembaran Wahidiyah). Dan masalah ini bukan masalah baru dalam Islam. Sebab dalam  kitab Kifatul Atqiya’ halaman 9 sebagai berikut :
الشَّرِيْعَةُ وُجُوْدَ الأَفْعَالِ لِلَهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدَ الأَفْعَالِ بِاللهِ
Padahal orang yang beramal dengan tidak menerapkan LILLAH dan BILLAH terkecam dan amalnya tidak diterima di sisi Allah SWT. Hal ini sesuai denga keterangan dalam kitab Hikam Lil Ibni ‘Ibad Juz II sebagai berikut :
كُلُّ عَمَلٍ لاَ إِخْلاَصَ فِيْهِ لَيْسَ بِاللهِ وَلاَ لِلّهِ مَرْدُوْدٌ عَلَى صَاحِبِهِ وَمَضْرُوْبٌ بِهِ وجْهِهِ وَبِهذا يَتَبَيَّنَ لَكَ غُرُوْر اكْثرِ الخَلْقِ فَى عُلُوْمِهِمْ وَاَعْمَالِهِمْ إِلاَّ مَنْ رَحِمَهُ اللهُ
c.       Seterusnya Bapak menyebut-nyebut dengan kalimat “zaman  41 hari” …….
Dari sini menunjukkan bahwa Bapak belum pernah tahu Sholawat Wahidiyah. Sebab sepanjang yang saya ketahui selama 21 tahun saya ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah, belum pernah saya menenui bilangan hari pengamalan 41 hari seperti yang Bapak sebut itu. Yang ada ialah 40 hari.Pada hal di dalam lembaran-lembaran Sholawat Wahidiyah yang berear di masyarakat luas bilangan itu tetap dicantumkan. Berarti Bapak hanya menerima berita kata orang (قِيْلَ وَقَالَ) . Sabda Rosulullah SAW sebagai berikut :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ... وكره قيل وقال (رواه البخارى)
Tapi aneh sebelum Bapak mengetahui permasalahan secara detail, Bapak telah berani menjatuhkan fonis hukumnya, yaitu dengan kalimat “malah santri Lirboyo ……. Diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah.”. Padahal menurut Kitab Sullam Taufiq mengharamkan sesuatu yang tidak haram menjadi MURTAD. Bapak mengharamkan pengamalan Sholawat Wahidiyah seperti tersebut di atas, jelas tidak berdasar kepada data yang konkrit, yang bisa dipertanggung jawabkan dan dengan dasar dalil syar’I dan hujjah yang wadlihah. Semata-mata hanya dengan khobar qila waqola(قيل وقال) dan ditunjang dengan rokyu Bapak. Alangkah bahayanya ?seperti disebut dalam Hadits berikut ini :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَالَ فِى الدِّيْنِ بالرأي فَقَدْ اتهمنى. (رواه أبو نعيم عن جابر بن عبد الله) .قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَعْمَلُ هَذِهِ الأُمَّةَ بُرْهَنَةُ بِكِتَابِ اللهِ ثُمَّ تَعْمَلُ بِسُنَّةِرَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَعْمَلُ بِالرَّأْيِ فَإِذَا عَمِلُوْا بِالرَّأْيِ فَقَدْ ضَّلُوْا وَأَضَلُّوْا (رواه أبو نعيم عن أبى هريرة)

3.      Selanjutnya dalam surat tersebut Bapak menuliskan duabuah Hadits untuk dasar bahwa Rosulullah SAW tidak bertanggung jawab kepada keluarganya, lebih-lebih selain Rosulullah SAW. baiklah disini untuk lebih jelasnya hadits itu saya tulis kembali :
وَفِى الحَدِيْثِ : لَنْ يجنى أحدكم عمله قَالُوْا وَلاَ أَنْتَ يَارَسُوْلُ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ تَغَمَّدَنَى اللهُ بِرَحْمَتِهِ . وَفِى الصَحِيْحَيْنِ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ أَنْزَلَ عَلَيْهِ وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ. فَقَالَ يَامعشر قُرَيْشٍ اشْتَرَوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَا بَنِى عَبْدِ مَنَاف لاَأَغْنَى عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَاعَبَّاس عَمَّ رَسُوْلِ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَاصَفيَّة عَمَّة رَسُوْلِ اللهِ لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا يَافَاطِمَة بِنْت رَسُوْلِ اللهِ سَلِيْنِى من مالى ما شِئْتِ لاَأَغْنِى عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا (إرشاد العباد : 116)
Pengertian Bapakseperti tersebut diatas, perlu saya berikan tanggapan yaitu pada  Hadits yang pertama dan kedua adalah dasar untuk HAQIQOTUL AMRI, bukan seperti rokyu Bapak tersebut diatas. Adapun masalah syari’at atau lahiriyah seseorang tetap akan menerima balasan amalnya. Hal ini banyak disebutkan dalam Al Qur’an sebagai berikut :
فَمْنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَاه وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَراه (الزلزلة : 7-8)
إِنَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيْمِ (لقمان : 8)
Pada hadits kedua, kalau hanya sekedar kita baca leterleknya (lafadz-maknanya) seperti pemahaman Bapak itulah jadinya.Untuk itu marilah kita telaah kembali beberapa kitab yang mengupas makna hadits tersebut. Seperti di dalam Kitab Syawahidul Haq oleh Syaikh Yusuf Bin Ismail an Nabhani pada hal 496 beliau memberikan penjelasan sebagai berikut :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلّ نَسَبٍ وَسَبَبٍ يَنْقَطِعُ يَوْمَ القِيَامَةِ إلاَّ نَسَبِى وَسَبَبِى (رواه بن عساكر عن ابن عمر وَقَدْ قَالَ تَعالَى (وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى) ولايرضيه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الا سعادة اقاربه الأَقْرب فالأقْرب وَإِنَّمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ "لاَأَغْنَى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا" تَعْظِيْمًا لِجَانِبِ الحَقِّ تَعَالَى.
Dan di dalam Tafsir Syowi dijelaskan mengenai Hadits tersebut sebagai berikut :
وَأَمَّا مَا مَرَّ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةِ بِنْتِهِ أَنَا أَغْنِى عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا فَهُوْ تَحْذِيْرٌ لَهَا مِنَ الكُفْرِ الَّذِى بِهِ تَنْقَطِعُ الأَنْسَابُ (حاشية لصاوى على الجلالين ثالث, لقمان)
Pada dasarnya Rosulullah SAW tetap bertanggung jawab dan mensyafa’ati kepada umatnya, lebih-lebih kepada keluarganya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits sebagai berikut :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : شَفَاعَتِى لأَهْلِ الكَبائرِ مِنْ أُمَّتِى (رواه احمد ونساء وابن حبان فى صحيحه والحاكم عن جابر)
Pengarangan Kitab Syawahidul Haq memberikan penjelasan dalam masalah tersebut sebagai berikut :
كَيْفَ وَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَعْطَى الشَّفَاعَةَ فِى سَائِر النَّاسِ فَيَشْفَعُ فِى الأَبْعَدِيْنَ وَيَتْرُكُ قرباءه المؤْمِنِيْنَ ؟ هَذا مِمَّا لاَيَكُوْنُ وَلاَيَتَصَوَّرُهُ عَاقِل (شواهد الحق ص 497)
Sedang selain Rosulullah SAW dapat mensyafa’ati kepada selainnya. Seperti tersebut dalam hadits di bawah ini :
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيَدْخُلُ الجَنَّةَ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَكْثَرُ مِنْ بَنِى تَمِيْم (رواه احمد ونسائى وابن حبان فى صحيحه والحاكم عن عبد الله )
Lebih-lebih Rosulullah SAW sebagai Sayyidul Anbiya’ wal mursalin wa Sayyidul kholqi ajma’in, apakah masih perlu diragukan syafa’at beliau ?na’udzubillahi min dzalik.
Untuk kalimat selanjtnya dalam foto copy itu saya tidak akan menanggapi,  sebab pada dasarnya hanya merupakan kaitan dari kesimpulan yang Bapak dari ambil dari beberapa keterangan di atas. Ketidak ketelitian Bapak dalam menganalisa sesuatu permasalahan dan kurang cermatnya Bapak dalam menerapkan dalil terjadilah kesimpulan yang tidaktepat itu.

Tuesday 12 January 2016

musibah atau cobaan atau azab

Surat Al-Baqarah [2:156]
[Kala terkena musibah, hendaklah ucapkan : “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”]

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

alladziina idzaa ashaabat-hum mushiibatun qaaluu innaa lillaahi wa-innaa ilayhi raaji’uuna
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
* * *
makna dari kalimat “innalillahi wa inna ilaihi rajiun”
inna lilahi wa inna ilaihi rojiun dalam kehidupan kita sehari hari sering kita gunakan ayat diatas hanya dibacakan ketika kita mendapatkan berita buruk atau musibah saja.lebih jelasnya ketika kita mendengarkan ada orang dekat kita, orang tua, atau sanak saudara yang meninggal dunia. tidak salah penggunaan bacaan diatas. yang mana arti dari kalimat diatas kurang lebih “datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah. arti diatas bisa bermakna bahwa kita bisa hadir dan hidup didunia ini adalah karena ijin Allah, karena kehendak Allah. maka kita kelak akan kembali lagi ke hadapat Allah dalam bentuk apapun.
apakah hanya sampai disini penggunaan ayat diatas???
apakah gak ada makna lain yang bisa digali??
apakah hanya itu hakekat dari ayat inna lillahi wa inalillahi rojiun…
banyak makna yang bisa digali
banyak arti yang bisa timbul dari ayat diatas
hakekatnya sangat luas bila kita lebih memahami dan tidak hanya sekedar membaca dan ikut ikutan saja.
biar dianggap sok alim gitu..
sebenarnya, apakah yang datangnya dari Allah???……buanyakkk men.. kalo kita cermati semua yang ada didunia ini datangnya dari Allah. kalo kita sadari , semua rizki dan anugrah yang telah kita terima selama ini adalah dari Allah. apa yang kita miliki sekarang ini datangnya tidak lain dari Allah. sampe duit, posisi, jabatan, kepandaian, ilmu, perhiasan, baju, motor, rumah, mobil, anak, istri, dan deposito kita datangnya dari Allah, baik itu secara langsung maupun tidak.
hubungannya dengan ayat ini …bingung lhoh… he ..he..
inna lilahi wa inna ilaihi rojiun
“datangnya dari Allah dan kembali kepada Allah”.
maksudnya ……jika ada diantara milik kita seperti yang disebutkan diatas ternyata diambil oleh Allah ya diiklaskan…..gimana gak iklas, yang minta adalah yang memberi ke kita.
bila ada diantara yang disebutkan diatas diminta oleh Allah ya kita harus memberikannya. embel embelnya harus diiklaskan. jangan digandoli, jangan dieman eman. jangan pelit sama yang telah memberikan segalanya kekita tanpa pamrih.
masa, Allah meminta minta ke kita ?
masa, Allah doyan sama barang milik kita ?
masa, Allah suka sama perhiasan kita, uang kita, jabatan kita…?
Allah tidak butuh semua itu. Allah tidak matre ..jangan pikir Allah kedonyan.
tidak begitu, Allah maha Kuasa, Allah maha Halus, Allah maha bijaksana, Allah maha kaya.
Allah tidak menampakkan wujud seperti yang kita bayangkan.
Allah akan menampakkan wujudnya ketika ada orang meminta minta kepada kita
Allah akan menampakkan wujudnya ketika ada musibah menimpa kita
Allah akan menampakkan wujudnya ketika ada anak, tetangga atau saudara yang kelaparan.
Allah akan menampakkan wujudnya ada orang datang meminta sumbangan untuk anak yatim, untuk pembangunan masjid, untuk operasional pondok pesantren.
itulah mujud Allah yang sering kita tolak, yang sering kita remehkan, yang sering kita maki. subhanallah. kita telah salah menilai mereka selama ini.
entah itu orang mo menipu, atau bener bener, orang kelaparan atau bohong, untuk bangun masjid atau untuk sendiri, itu artinya Allah sedang menguji kita, Allah sedang mengambil haknya. kembali kepada kita, bagaimana kita merawat barang milik kita selama ini, bagaimana cara kita mendapatkannya, bagaimana kita mensyukuri pemberian dari yang maha kuasa ( Allah swt.)
kembali ketopik ” bahwa Allah berhak mengambil atau meminta apa saja milik kita yang datangnya dari allah”
DATANGNYA DARI ALLAH DAN AKAN KEMBALI KE PADA ALLAH.
jadi banyak sekali penerapan yang bisa kita gunakan dari sekedar ayat
inna lilahi wa inna ilaihi rojiun
gak cuma dibaca kalo kita mendengar ada berita orang meninggal saja.
ihhhh serem dengernya, sapa yang meninggal…??? tentu itu yang kita ucapkan ketika mendengar kalimat tersebut, padahal setiap kehilangan, kematian, sakit, gak ada salahnya kita ucapkan kalimat inna lilahi wa inna ilaihi rojiun……

Saturday 9 January 2016

Miladiyyah Kubro

Jangan Lupa ............
14 Januari 2016

Mujahadah Miladiyyah Kubro

dilokasi Miladiyyah 
Tempat Lahirnya Sholawat Wahidiyah 
Kedunglo Kediri Jawa Timur